Wednesday, 5 December 2018

Mengenal Museum Louvre



Museum Louvre (bahasa Perancis:Musée du Louvre; bahasa Inggris: the Louvre Museum) adalah salah satu museum terbesar, museum seni yang paling banyak dikunjungi dan sebuah monumen bersejarah di dunia. Museum Louvre terletak di Rive Droite Seine, Arondisemen pertama di Paris, Perancis. Hampir 35.000 benda dari zaman prasejarah hingga abad ke-19 dipamerkan di area seluas 60.600 meter persegi.





Museum ini bertempat di Istana Louvre (Palais du Louvre) yang awalnya merupakan benteng yang dibangun pada abad ke-12 di bawah pemerintahan Philip II. Sisa-sisa benteng dapat dilihat di ruang bawah tanah museum. Bangunan ini diperluas beberapa kali hingga membentuk Istana Louvre yang sekarang ini. Pada tahun 1682, Louis XIV memilih Istana Versailles sebagai kediaman pribadi, meninggalkan Louvre untuk selanjutnya dijadikan sebagai tempat untuk menampilkan koleksi-koleksi kerajaan.[5] Pada tahun 1692, di gedung ini ditempati oleh Académie des Inscriptions et Belles Lettres dan Académie Royale de Peinture et de Sculpture. Académie tetap di Louvre selama 100 tahun berikutnya. Selama Revolusi Perancis, Majelis Nasional Perancis menetapkan bahwa Louvre harus digunakan sebagai museum untuk menampilkan karya-karya bangsa.

Museum ini dibuka pada tanggal 10 Agustus 1793 dengan memamerkan 537 lukisan. Mayoritas karya tersebut diperoleh dari properti gereja dan kerajaan yang disita Pemerintah Perancis. Karena masalah struktural dengan bangunan, museum ditutup pada tahun 1796 hingga 1801. Jumlah koleksi museum meningkat di bawah pemerintahan Napoleon dan museum berganti nama menjadi Musée Napoléon. Setelah kekalahan Napoleon dalam Pertempuran Waterloo, sebagian besar karya-karya yang disita oleh pasukannya kembali ke pemilik asli mereka. Koleksi museum ini ditingkatkan lagi selama pemerintahan Louis XVIII dan Charles X, dan selama masa Imperium Perancis Kedua, museum berhasil memperoleh 20.000 koleksi. Koleksi museum terus bertambah dengan adanya sumbangan dan hadiah yang terus meningkat sejak masa Republik Perancis Ketiga. 

https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Louvre

Asal Usul Roti Croissant



Mengapa croissant begitu terkenal dan disukai? Croissant berasal dari negeri Perancis. Kata croissant (lafalnya: kroasãn) dalam bahasa Perancis berarti bentuk bulan sabit, yaitu bentuk dari roti ini. Di dalam bahasa Inggeris, padan-katanya adalah crescent. Ada yang bilang bahwa sebenarnya croissant itu sama saja dengan roti-roti yang lain, tapi karena “berbau” Perancis kita jadi latah ikut-ikutan, dan “sok-sok” an menyukainya. Mungkin saja hypothese ini benar, tapi itu tidak penting. Memang pada kenyataannya segala sesuatu yang “berbau” Perancis memiliki nilai jual yang lebih tinggi, entah mengapa? Leonardo da Vinci adalah orang Itali tapi menjadi terkenal setelah tinggal di Perancis. Begitu juga dengan pelukis Pablo Picasso yang orang Spanyol itu. 

Ternyata kemasyhuran croissant yang sampai mendunia ini adalah juga berkat “bau” Perancisnya. Sayapun tidak pernah menyangka bahwa asal-muasal croissant ini datang dari negeri Austria. Banyak versi yang mengisahkan asal mula roti croissant ini. Data yang paling akurat adalah berdirinya sebuah toko roti atau boulangerie (bakery) “Viennoise” pada tahun 1838 di Paris, tepatnya di 92, rue de Richelieu dekat l’Opéra. Pemiliknya adalah seorang ex perwira artileri Austria bernama August Zang. Kekhususan toko roti ini adalah menjual roti-roti khas Austria yaitu Kipferl (cikal-bakal croissant) dan Viennois (seperti roti baguette Perancis tapi beruas-ruas agar mudah dipotong dengan tangan). Kisah lain tentang sejarah croissant yang lebih tua tercatat sejak abad ke 17. Pada masa itu Perancis baru saja menang berperang melawan Turki. Sebagaimana diketahui bahwa tentara Turki ini beragama Islam dan selalu membawa bendera dan panji-panji berlambangkan bulan sabit atau crescent. Sayang tidak ada data-data yang lebih rinci yang menggambarkan hubungan antara perang agama pada waktu itu dengan bentuk croissant yang kita kenal sekarang.


Yang paling menarik adalah cerita tentang asal usul kipferl yang merupakan nenek-moyang atau cikal-bakal dari croissant. Kejadiannya berlangsung pada abad ke 13. Pada masa itu Kekaisaran Austria mempunyai banyak musuh sehingga tentaranya selalu berada dalam keadaan siap siaga setiap saat. Akibatnya tentara dari negara-negara musuh tidak bisa dengan gampang-gampang menyerang tanpa diketahui oleh para pengintai Austria. Bangsa Austria, sebagaimana halnya dengan banyak bangsa-bangsa Eropa lainnya mempunyai kebiasaan bangun pagi, sarapan roti, minum susu atau kopi dan kemudian bekerja keras sehari penuh. Kebutuhan akan roti untuk sarapan pagi ini membuat para pembuat dan penjual roti bisa mencari nafkah dengan pendapatan yang baik. Kalau orang lain bekerja keras seharian penuh pada siang hari, para tukang roti ini bekerja keras sejak dini hari agar roti-roti bisa siap dan dijual sebelum waktu sarapan pagi. Suatu ketika, tentara musuh-musuh ini berencana untuk melakukan penyerbuan pada dini pagi hari dengan perhitungan bahwa para penduduk Austria masih lelap tidur. Mereka tidak memperhitungkan bahwa pada dini pagi hari itu para tukang pembuat roti ini sudah sibuk bekerja keras untuk nafkah mereka sehari-hari. Pada hari penyerangan itu, suara derap kaki kuda tentara musuh itu sudah terdengar dari kejauhan oleh para pembuat roti tersebut. Mereka segera melaporkan kejadian itu kepada pos garnisun terdekat. Secepat kilat, petugas garnisun memberitahukan kepada para komandan jaga tentang semua hal yang dilaporkan oleh penduduk. 

Singkat cerita perangpun pecah dan musuhpun berhasil dipukul mundur. Kejadian tentang serangan musuh pada pagi hari buta yang ternyata bisa diketahui oleh para pembuat roti ini juga dilaporkan kepada Kaisar Austria. Kepada para tukang pembuat roti ini Kaisar memberi hadiah atas jasa-jasa mereka, dan memerintahkan agar membuat roti khusus yang bisa mengingatkan mereka semua atas kejadian ini. Akhirnya mereka semua bersepakat untuk membuat roti kipferl, yang sekarang kita kenal dengan nama croissant, yang mengambil bentuk ladam atau tapal kuda (seperti huruf U). Memang sejak dulu manusia menyukai lambang-lambang. Yang menyelamatkan Austria dari serangan musuh kala itu memang suara gemuruh yang dibuat oleh tapal-tapal (sepatu) kuda tentara musuh. Tapi sekarang masa perang sudah lampau, rasa croissant sekarang lebih banyak mendatangkan rasa dan suasana damai. Dan jangan lupa, kopi susunya encer saja dan diseruput selagi panas-panas.

Diambil dari https://www.kompasiana.com/suhanditamantimur/54ffb7a48133115761fa6f9d/asal-usul-roti-croissant

Video Pembelajaran : Histoire du Le Mont Saint Michel

À l'origine, il était connu sous l'appellation de mont Tombe. Il devait s'y trouver une pierre ou un monument mégalithique destiné à un culte païen, auquel succédèrent deux oratoires, l'un dédié à saint Symphorien, l'autre à saint Étienne, édifiés par des ermites aux VIe et VIIe siècles, ainsi que le rapporte la Revelatio ecclesiae sancti Michaelis archangeli in Monte Tumba18. A la suite de cette première christianisation du mont Tombe, fut érigé un oratoire en l’honneur de l’archange saint Michel en 708 (709 pour la dédicace), comme l'indiquent les Annales du Mont-Saint-Michel rédigées au début du XIIe siècle. Aubert, évêque d'Avranches, installa sur le site une communauté de douze chanoines pour servir le sanctuaire et accueillir les pèlerins. C'est à cette époque que le mont accueillit, à l'est du rocher, les premiers villageois qui fuyaient les raids vikings19. Ce premier habitat a dû abriter les différents corps de métier nécessaires à l'édification du premier sanctuaire : tailleurs de pierre, maçons, tâcherons et charpentiers. Puis il a dû accueillir les laïcs chargés d’approvisionner la communauté religieuse. « Malgré les nombreuses reconstructions qui ont, petit à petit, façonné le bourg que nous connaissons aujourd'hui, le noyau primitif du village demeure encore perceptible : il correspond en effet à une zone caractérisée par une organisation parcellaire relativement complexe et un enchevêtrement de constructions desservies par des ruelles tortueuses »20. Il s'agit, grosso modo, du secteur où se trouvent implantés l'église paroissiale Saint-Pierre et son cimetière. La plupart des habitations devaient être construites en bois et en torchis.


 À partir de l'an 710 et pendant tout le Moyen Âge, le mont fut couramment surnommé par les clercs « mont Saint-Michel au péril de la mer » (Mons Sancti Michaeli in periculo mari).

Le Mont était rattaché depuis la formation des circonscriptions ecclésiastiques au diocèse d'Avranches, en Neustrie, ce qui reflétait vraisemblablement une situation antérieure, c'est-à-dire l'appartenance du Mont au territoire des Abrincates, membres de la confédération armoricaine, sur lequel va se plaquer le cadre administratif romain, puis le cadre religieux chrétien, conformément à un processus observé ailleurs dans la future Normandie et au-delà.

En 867, le traité de Compiègne attribua le Cotentin, ainsi que l'Avranchin (bien que ça ne soit pas clairement stipulé), au roi de Bretagne, Salomon. L'Avranchin, tout comme le Cotentin, ne faisaient donc pas partie du territoire neustrien concédé au chef viking Rollon en 911. Le mont Saint-Michel restait breton, bien que toujours attaché au diocèse d'Avranches, lui-même dans l'antique province ecclésiastique de Rouen, dont la ville principale était aussi devenue capitale de la nouvelle Normandie. Il l'était encore en 933 lorsque Guillaume Ier de Normandie, dit Guillaume Longue Épée, « obtint du roi de France un agrandissement notable de son territoire, avec le Cotentin et l'Avranchin, jusqu'alors contrôlés par les Bretons. C'est donc à cette date que le Mont est officiellement rattaché à la Normandie »21, la frontière politique de l'Avranchin se fixant transitoirement sur la Sélune, fleuve côtier qui se jetait à l'est du Mont. Guillaume Longue Épée fit d'importants dons de terres à la communauté des chanoines montais, ces domaines étant presque tous situés entre le Couesnon et la Sélune18.

Richard Ier de Normandie, fils de Guillaume Longue Épée, eut à cœur de poursuivre l’œuvre de réforme monastique de son père et il ordonna aux chanoines à qui le Mont avait été confié de renoncer à leur vie dissolue ou de quitter les lieux. Tous partirent sauf un, Durand, qui se réforma par amour pour l'archange. C'est ainsi que s'y établirent en 966 des bénédictins issus de différentes abbayes telles, sans doute, Saint-Taurin d'Évreux et Saint-Wandrille. L'histoire de cette fondation est relatée dans l'Introductio monachorum, qui figure au début du Cartulaire du Mont-Saint-Michel. Le premier abbé fut Mainard Ier. Une tradition bien établie veut qu'il s'agisse du réformateur Mainard, chargé de restaurer l'abbaye de Saint-Wandrille mais cette hypothèse reste controversée. C'est lui qui aurait fait édifier l'église préromane appelée Notre-Dame-sous-Terre, construite à cette même période21. Son neveu, Mainard II, lui succéda jusqu'en 1009, qui était aussi abbé de Redon. « À cette époque, le Mont scelle la bonne entente entre les deux ducs, de Normandie et de Bretagne »21.

Pendant le premier quart du XIe siècle, les bonnes relations perdurent entre les moines du Mont et les ducs, sous les abbés Hildebert Ier (1009-1017) puis Hildebert II (1017-1023). Mais elles se gâtent lorsque le duc normand Richard II , qui protégeait l'abbaye à l'instar de son père, décide de remplacer l'abbé montois par un abbé extérieur et réformateur, d'abord le Romain Supo puis le Bourguignon Thierry, déjà abbé de l'abbaye de Jumièges et gardien de l'abbaye de Bernay, alors dépendance de l'abbaye de Fécamp21.

Le nouveau duc Robert Ier de Normandie, dit Robert le Magnifique, nomma en 1027 un abbé d'origine mancelle, Aumode, à qui il confia en 1032 sa nouvelle fondation, l'abbaye de Cerisy. L'abbé Supo fut donc rappelé et dirigea l'abbaye montoise jusqu'à sa retraite à l'abbaye de Fruttuaria avant 1048.

Le duc Guillaume le Conquérant s’intéressa de près aux successions abbatiales et octroya des bénéfices, tant temporels que spirituels, à l'abbaye du Mont qui avait soutenu financièrement la conquête de l'Angleterre. Ainsi, certains moines montois furent appelés à diriger des abbayes anglaises. Grâce aux revenus des terres et prieurés octroyés par le duc, l'abbatiale romane fut rapidement achevée. A la mort du Conquérant, le Mont traversa une période trouble mais grâce à l'excellente administration de ses abbés, notamment Bernard du Bec, l'abbaye connut un grand développement intellectuel. Elle échappa, en août 1138, au grand incendie que déclenchèrent les habitants d'Avranches et qui ravagea le village montois, à la suite d'un désaccord avec les moines sur la succession d'Henri Ier Beauclerc22.

En 1009, le duc de Normandie décide d'exercer un contrôle direct sur l'abbaye du Mont-Saint-Michel et l'abbé Maynard Ier, issu de la communauté de Saint-Wandrille, est évincé et doit se replier à l'abbaye Saint-Sauveur de Redon.[réf. nécessaire] pour être remplacé par l'abbé Hildebert Ier, préféré par Richard II.

Profitant de la Régence d'Havoise de Normandie, sa sœur, sur la Bretagne et de l'agression du chef viking Olaf sur Dol-de-Bretagne en 1014, le duc Richard II de Normandie repousse vers 1027-1030 la frontière avec la Bretagne de la Sélune au Couesnon[réf. nécessaire].

En 1030, Alain III de Bretagne, duc de Bretagne, entre en conflit avec son cousin, le duc Robert Ier de Normandie fils de Richard II. C'est la toute puissance de Robert "le Magnifique" qui a dans son duché de Normandie, solidement rétabli le pouvoir ducal23. C'est dans cette optique d'hégémonie qu'il demande à son cousin Alain III de lui prêter un serment de fidélité23. Celui-ci refuse et résolut le duc de Normandie d'utiliser la force. Après la construction d'une forteresse, celle de Cheruel, le duc de Normandie lance une expédition en Bretagne23. Alain riposte en lançant une contre-offensive dans l'Avranchin, mais il est repoussé avec de lourdes pertes. Leur oncle Robert le Danois, archevêque de Rouen, sert de médiateur lors d'une entrevue au Mont-Saint-Michel23. En 1031, Alain et son frère Eon de Penthièvre font une donation au Mont-Saint-Michel.

L'histoire et la légende se brouillent à cette date. Les textes de l'époque ne précisent pas le sort du mont Saint-Michel, mais son rattachement à la Normandie est attesté quelques décennies plus tard, et il est déjà effectif depuis longtemps lorsque les Bretons de Guy de Thouars incendient le Mont en avril 1204.

Or, une légende affirme que le Couesnon, lors d'une de ses fréquentes divagations, se serait mis à déboucher à l’ouest du Mont, faisant ainsi passer ce dernier en Normandie[réf. nécessaire]. Si cette légende est exacte, le Mont aurait été situé à l'ouest du Couesnon en 1009 et la divagation du Couesnon se situerait quelques décennies plus tard. Si elle est fausse, le Couesnon se jetait déjà à l'ouest du mont Saint-Michel en 1009.

Quoi qu'il en soit, le Mont-Saint-Michel aura été breton de 867 à 1009, de manière géopolitique, sans jamais avoir été intégré à l'archidiocèse de Dol, de même, la fondation d'un collège de chanoine par l'évêque d'Avranches dès le VIIe siècle, le choix de saint Michel comme saint protecteur de l'empire par Charlemagne, puis les donations de Rollon pour restaurer la collégiale et enfin sa conversion en abbaye bénédictine en 966 par une communauté de moines issue des abbayes de Saint-Wandrille, de Jumièges et de Saint-Taurin d'Évreux, toutes situées en Normandie, indiquent clairement l'appartenance permanente du Mont à la sphère d'influence de l'église franque puis normande, distinctes de l'église bretonne, ce qui rend la question de la localisation géographique exacte plutôt secondaire. La limite officielle entre la Bretagne et la Normandie est désormais fixée indépendamment de la localisation d'un cours d'eau – et précisément à 4 km à l’ouest, au pied du massif de Saint-Broladre.

Il faut noter que l'hypothèse d'une divagation importante du Couesnon est parfaitement cohérente et vraisemblable, tant les lits des cours d'eau pouvaient varier, en l'absence de toute canalisation – et parfois de plusieurs dizaines de kilomètres. Le fait que l’embouchure du Couesnon se trouvait à 6 km du rocher au XVIIIe siècle n'apporte aucune information sur sa position au fil des siècles précédents – la topographie rend même inévitable qu'il ait bougé régulièrement. En revanche, aucun texte n'atteste qu'il ait basculé d'un côté du mont Saint-Michel à l'autre.

https://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Mont-Saint-Michel